Jumat, 10 April 2009

"obrolan malam"

Malam ini rabu tanggal delapan april dua ribu sembilan aku dapat giliran jaga malam bersama dengan empat orang temanku yang lain, masing-masing si Toro, Edi, Agus dan satu lagi temanku yang paling bersih kulitnya si Wawan. Seperti malam-malam yang sebelumnya saat kami dapat giliran jaga, kamipun melakukan kebiasaan rutin saat dapat giliran jaga malam yaitu kumpul jadi satu di poskamling sambil bermain catur dan minum secangkir kopi ditemani dengan sebungkus rokok filter dan beberapa potong pisang goreng.

Malam ini tidak seperti malam biasanya, malam ini terasa agak beda suasananya, karena sudah hampir larut malam masih aja banyak orang-orang yang menemani kami bermain catur di poskampling yang berada di pertigaan tepat di sebelah kiri rumahku. Agak ke kanan sedikit kira-kira sekitar 50 meter ada warung penjual kopi dan berbagai macam makanan yang tutup menjelang pagi.

Selain keramaiannya terfokus di poskamling tempat kami berjaga, keramaian juga terlihat di rumahnya pak Radi yang dijadikan sebagai salah satu tempat pemungutan suata di kampungku yaitu TPS III. Malam ini para pemuda dan bapak-bapak masih terlihat sibuk mempersiapkan perlengkapan yang akan digunakan dalam pemungutan suara besok pagi. Mulai dari menyiapkan bilik suara yang ditata berjajar rapi sebanyak 5 buah dengan dua meja yang monopangnya. Sebagian lagi menata kursi-kursi untuk duduk para calon pemilih yang sedang menunggu giliran dipanggil untuk dapat menyumbangkan suaranya.

Aku dari tadi masih duduk dibelakang temenku Edi yang sedang asyik bermain catur dengan Toro, dimana kedudukan sementara 5 berbanding 3 untuk kemenangan Edi. Dalam kebisuan mereka karena mimikirkan langkap yang tepat untuk mengalahkan lawan aku coba berceletuk.
“gimana nih kira-kira jalannya pemilu besok pagi?”tanyaku sambil mencomot sebuah pisang goreng yang dari tadi baru berkurang tiga biji.
“gimana apanya maksud kamu Lék” sahut si Edi sambil masih memandangi bidak caturnya. Iya “Lék” itu panggilan mereka kepadaku, dimana panggilan itu pertama kalinya ucapkan oleh guru SDku, waktu aku masih kelas satu.
“ya… kira-kira partai mana yang memenangi pemilu besok pagi”
“ga tau aku lék’, lah wong aku tidak serperti Boz Edi je….” Jawab si Toro sambil mendongakkan kepalanya ke arahku karena aku duduk diatas kayu pembatas di belakangnya si Edi. Boz Edi ketua perkumpulan paranormal seluruh Indonesia yang kebetulan sekota denganku.
“yah ini kan cuma prediksi aja, cuma kira-kira kita saja. Ga usah seperti para orang-orang di luar sana yang memakai survei segala”.
“kalau cuma prediksi aja nggak ramai lék, gimana kalau kita taruhan aja biar tambah ramai?” jawab si Agus yang sedari tadi ngobrol sama Wawan sampai-sampai ga terasa kalau rokok ditangannya tinggal abu semua karena keasyikannya bercerita.
“wah bagus itu Gus, jadi kita bisa tambah penasaran siapa yang menang seperti pas pemilihan kades tahun lalu itu” timpal si Wawan sambil sesekali menyuruput kopinya yang sisa setengah doank.
“ah….otak kalian berdua tu isinya cuma judi doank…apa-apa dijadikan ajang taruhan, ntar ada cewek lewat kalian jadikan ajang taruhan juga.” Jawabku sambil meletakkan cangkir kopi yang aku pegang
“kalau nggak ada yang mo kasih komentar aku tanya aja ma kalian, gimana kalau seumpamanya partai Demokrat yang memenangi pemilu kali ini? Apa yang kalian inginkan dalam masa pemerintahannya kelak?” tanyaku pada mereka semua.
“Kalau memang Demokrat atau partai apapun yang menang, hanya satu keinginanku Lék yaitu harga pupuk turun tidak seperti tahun lalu yang membuatku rugi beberapa juta karena biaya yang aku keluarkan lebih besar daripada hasil yang aku dapat dari menjual hasil panenku.” Jawab si Toro yang memang mempunyai beberapa petak sawah yang di garap sendiri sebagai mata pencahariannya sehari-hari.
“Kalau kamu gimana Gus?” tanyaku kepada agus yang masih setia dengan rokok filter di jari kanan tangannya
“Aku Lék ? kalau aku pengen harga-harga pada turun terutama harga sembako, soalnya satu tahun kemarin sampai hari ini, aku masih tersiksa untuk menghidupi keluargaku. Aku harus banting tulang agar semua keluargaku bisa makan walau hanya cuma dengan lauk sekedarnya saja.” Tak salah memang apa yang diinginkan oleh temenku Agus ini. Karena pekerjaannya yang hanya seorang tukang becak yang mangkal setiap malam di sebuah perempatan kota yang dilewati bus lintas pantura, dimana hasil yang didapat dari mengayuh becaknya yang udah reot tak bisa diharapkan, kadang malah dalam satu malam dia tidak mendapat tarikan sama sekali karena sekarang makin banyak orang yang dijemput sanak keluarganya dengan menggunakan sepeda motor seiring dengan mudahnya membeli motor secara kredit.
“Kamu gimana Ed?” tanyaku pada Edi yang masih asyik dengan bidak caturnya
“Aku Lék? Kalau kamu sendiri gimana Lék?” pa yang kamu harapkan dari pemilu kali ini?
“Aku?”jawabku sambil menunjukkan telunjuk jariku kearah dadaku.
“Yah aku juga berharap seperti apa yang kalian harapkan, tapi aku lebih berharap setelah pemilu kali ini akan lebih banyak lapangan perkejaan yang dibuka, seperti yang kalian liat sendiri, di sini…di kota kita ini aja susahnya minta ampun untuk bisa mendapatkan perkerjaan yang layak, sedangkan pekerjaan yang layak, cari seribu perak aja susahnya minta ampun.“
“Kalian pasti sudah tau kenapa aku ingin banyak lapangan kerja yang dibuka oleh pemerintah?”
“Belum….kami belum tau” jawab mereka hampir bersamaan.
“Bener kalian belum tau?”
“Sumpah kita belum tau, kan kamu tau ndiri gimana pendidikan kita, kita kan cuma sampai smp aja sekolahnya, palagi si Agus yang smp aja ga sampai kelar ga seperti kamu yang bisa kuliah di Semarang walau hanya satu tahun aja.
“Gini, sebenarnya simpel aja kenapa aku ingin banyaka lapangan kerja yang dibuka, karena dengan adanya lapangan pekerjaan akan menyerap banyak tenaga kerja yang tersedia jadi bisa mengurangi pengangguran dan juga kamu Gus, bisa meninggalkan perkerjaanmu yang lama yang tidak bisa memberikanmu penghasilan tetap.”
“Selain itu dengan adanya lapangan perkejaan, menjadikan banyak orang yang mempunyai daya beli sehingga kebutuhan akan sandang,pangan, dan papan mereka meningkat sehingga harga jual panenmu juga meningkat Tor, jadi kamu ga akan rugi lagi.”
“O….gitu ya Lék?” jawab Toro setengah bertanya
“Lah kalau harga-harga naik kan nggak ada yang beli Lék? Gimana si Toro bisa menjual hasil panennya, ga jadi untung dong dia.” Sahut si Edi yang sedari tadi masih menyimak penjelasanku
“Ya ga gitu Ed, kan mereka sudah punya pekerjaan dan penghasilan tetap jadi mereka bisa mencukupi kebutuhan pokok mereka, beda kalau mereka ga punya pekerjaan, walau semurah apapun kalau mereka tidak punya pekerjaan dan penghasilan tetap, tetap aja mereka tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka.”
“Bener juga lék, apa yang kamu bilang, tapi aku kok ga sreg dengan pa yang kamu utarakan lék” jawabnya agak menyangsikan jawaban dariku. Pantas aja si Edi merasa ragu dengan apa yang aku utarakan karena memang belum ada contoh nyata yang pernah dia lihat, gimana dia mau tau perkembangan yang ada di negeri ini, karena hampir separoh waktunya setiap hari dia habiskan dijalanan tuk menarik angkot mengumpulkan rupiah demi rupiah agar target setoran bisa tercapai sedikit sisa untuk menghidupi keluarga kecilnya yang bahagia.

“Skak mat!” teriak Toro mengagetkanku
“Waduh….dah ga da jalan lagi ya?” Tanya Edi pada diri sendiri…
“Akhirnya aku bisa menyamakan kedudukan, gimana imbang kan kedudukan kita? 5 : 5 hehehe” tawa senang si Toro karena bisa menyamakan skor.

Tak terasa waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam, keadaan sudah mulai sepi, satu persatu orang yang tadi menemani kami di poskamling, pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga keramaian di TPS 3 juga sudah terlihat sepi, hanya ada beberapa bapak saja yang masih bercakap sambil bermain kartu remi. Ada juga yang tertidur pulas di lantai rumahnya pak Radi dan ada juga yang tidur dengan berselimutkan kain sarung meringkuk di atas kursi plastik berwarna hijau yang disediakan untuk para pemilih besok.

Tanpa kusadari ternyata si Wawan sedari tadi sudar tertidur pulas didekatnya si Agus yang berada di sebelah kanannya si Toro. Aku segera membangunkannya untuk segera mengambil uang jimpitan sekalian melakukan ronda malam demi keamanan lingkungan. Sementara si Toro dan Edi sedang membereskan caturnya sebelum disimpan. Kutepuk pipi kanan dan kirinya si Wawan agar dia terbangun. Ternyata susah juga nih bangunan Wawan, hampir 5 menit sendiri bangunin dia, itu aja harus dengan meneteskan air teko ke mukanya si Wawan baru dia menggeliat untuk membuka matanya.

Setelah Wawan benar-benar bangun, aku sama Agus bergegas mengambil senter dan pentungan seraya turun dari poskamling untuk siap-siap melakukan patroli malam yang menjadi menu wajib kita jika jaga malam. Kukalungkan sarungku di leher sambil menyalakan senter dan mulai berjalan keliling kampung sambil mengambil jimpitan yang sudah disediakan para warga ditempat khusus, serta memastikan keadaan lingkungan kami aman dari pencuri-pencuri jahil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Pengunjung ke :

Website counter